TASAWUF NISA I
Tasawuf nisa adalah tasawuf yang dipraktikan dan dikonsepkan oleh para tokoh Shufi dari kaum wanita. Tujuan dari tema tasawuf nisa adalah mengetahui biografi dan ajaran para Shufi dari kaum wanita, mengetahui kejiwaan kaum wanita yang berbeda dengan kaum laki-laki sehingga membutuhkan formulasi tasawuf yang tepat, mengetahui perbedaan konsep maqamat dan ahwal antara tokoh Shufi laki-laki dan wanita, dan mengetahu jalan/metode yang dipakai Shufiyah nisa dalam meraih keshufiannya.
Ruang lingkup kajian dari Tema Tasawuf Nisa adalah Tokoh-tokoh Shufi nisa dan kata-kata mutiaranya dalam tasawuf, nafsiologi nisa, perbandingan kondisi batin (ahwal) shufiyah nisa dan shufiyah rijal, dan metode-metode menjadi shufiyah nisa.
Imam as-Sulami mengangkat 84 tokoh Shufi nisa. Diantara tokoh Shufi dari kaum wanita:
Rabi’ah al-‘Adawiyah (ahlul mahabbah)
Imam Sufyan at-Tsauri banyak bertanya kepada Sayidah Rabi\’ah dan senang dengan nasihat dan doa-doa sayidah Rabi’ah al-‘Adawiyah.
Ajaran tasawufnya : 1) assalamah minaddunya tarku ma fiha (keselamatan dari dunia adalah meninggalkan apa yang ada didalamnya), 2) tsamratul ma’rifah al-iqbal (buah dari mengenal Allah SWT adalah hati selalu menghadap kepada-Nya), 3) syaghalani hubbul khaliq ‘an hubbil makhluq (telah menyibukkan hatiky mencintai Maha pencipta dari mencintai makhluknya), 4) sakirtu min hubbi Rabbi allailata, fa asbahtu wa ana minhu makhmurah (malam tadi aku mabuk dari mencintai Tuhanku, maka aku menjadi mabuk karenya) , 5) aqrabu ma taqarraba al-‘abdu bihi illallah an ya’lama anahu la yuhibbu minaddunya wal akhirati ghairahu (kondisi terdekat untuk mendekat kepada Allah bahwa ia mengetahui tidak ada kecintaan dari dunia dan akhirat, selain-Nya), 6) inni lauhibbuhu (rasulullah), wa lakin syaghalani hubbul khaliq \’an hubbil makhluq (aku benar-benar mencintai Nabi Saw, akan tetapi kecintaan kepada Maha Pencipta menyibukkanku darimencintai makhluk), 7) astaghfirullaha min qillati shidqi fi astaghfirullah (aku meminta ampun kepada Allah SWT, dari sedikitnya kejujuran dalam aku meminta ampun kepada Allah SWT). [1]
Ajaran tasawuf yang menonjol dari Rabi’adah adalah mahabbah kepada Allah yang mendominasi qalbu dan kehidupannya, sehingga hatinya hanya disibukkan oleh Allah SWT, semata. Sehingga ajaran tasawufnya tidak dapat diikuti oleh kebanyak Salik, kecuali yang Allah SWT, khususkan seperti dirinya. Rabi’ah dikenal sebagai Maryamnya umat Nabi Muhammad Saw.
Lubabah al-Muta’abbidah (ahlur ridha ‘anillah)
Ajaran taswuf: 1) inni la astahi minallah an yarani musytagilah bi ghairi (aku sungguh merasa malu dari Allah, bahwa Ia melihatku dalam keadaan sibuk dengan selain-Nya), (2) Ma zaltu mujtahidah fi ‘ibadah hatta shirtu astarwihu biha, fa idza ta’ibtu min liqa al-khalqi aanasani dzikruhu, wa idza a’yani haditsul khalqi rawwahani at-tafarrugh li ‘ibadatillah wal qiyam ila khidmatihi (Aku terus menerus bersungguh-sunggu dalam ibadah sehingga aku menjadi rileks dengan ibadah, maka apabila aku penat dari menemui makhluk, maka mengingat Allah SWT, membuatku betah apabila pembicaraan makhluk, maka membuatku rileks menghabiskan waktu untuk ibadah dan tagak melayani-Nya) 3) Sal Allah sya`iaini : an yardha ‘anka, wa yuballighuka manzila ar-radhyin ‘anhu, wa an yukhmila fima baina awliyaihi (mintalah kamu kepada Allah dua perkara: Allah meridhaimu, dan menyampaikanmu kepada kedudukan orang-orang yang ridha kepada-Nya, dan merahasiakan sebutanmu dihadapan para wali-wali-Nya).[2]
Ajaran tasawuf yang menonjol dari Lubabah adalah ajaran keridhaan kepada Allah SWT, dengan merasakan kenikmatan beribadah dan berkhidmah kepada Allah SWT, dengan tetap bermu’amalah yang baik dengan sesama manusia, berumah tangga, bermasyarakat, berkarir dan sebagainya. Dimana kelelahan bermuamalah dengan makhluk terobati dengan beribadah kepada Allah SWT.
Maryam al-Bashriyah
Ia adalah murid sekaligus khadimah dari Sayidah Rabi’ah, ia memiliki corak tasawuf yang sama dengan gurunya, dan tidak menikah. Ia wafat dalam suatu majlis wa ‘izhin karena mendengarkan pembahasan mengenai cinta kepada Allah SWT. Diantara wirid yang sering ia baca sepanjang malam adalah “Allah lathifun bi’ibadhi”. Ia meninggalkan dunia seluruhnya dan tidak kasab dengan bersandar jiwanya kepada firman Allah “wa fissama rizqukum wa ma tu’adun”. Sehingga ajarn tasawufnya tidak bisa diikuti oleh kebanyak kaum muslimin dan muslimah.[3]
Mu`minah binti Buhlul (pembesar Ahli Ma’rifah)
Ajaran tasawuf: 1) ma thabat ad-dunya wal akhirah illa billah, au bi nazhri ila aatsari shun’ihi wa qudratihi, wa man muni’a minal qurbi anisa bil atsari ma awhasya sa’atan la yudzkaru Allahu fiha, 2) ma thabat ad-dunya wal akhirah illa bika, fala tajma’ ‘alayya faqdaka wal ‘adzaba, 3 min aina istafadti hadzihil ahwal? qalat min ittiba’i amrillah ‘ala sunnati rasulillah, wa ta’zhimi huquq al-muslimin wal qiami bi khidmati al-abrar ash-shalihin.[4]
Ajaran tasawuf yang nampak dari Mu`minah adalah ajaran kemakrifatan dimana hati bahagia karena merasakan kedekatan dan kebersamaan dengan Allah SWT, dan qalbu menyaksi kepada-Nya, dalam ciptaan-ciptaan-Nya. Metode meraihnya adalah taat kepada Allah dan mengikuti Rasulillah Saw, memuliakan hak-hak kaum muslimin, dan istiqamah dalam berkhidmah kepada orang-orang ahli kebaikan yang shalih.
Mu’adzah binti ‘Abdillah al-‘Adawiyah
Ia kerabat dari Rabi’ah al-‘Adawiyah. Ia tidak memandang langit selama 40 hari karena malu kepada Allah SWT, ia tidak makan disiang hari (puasa) karena makannya dimalam hari dan tidak tidur diamam hari karena tidurnya qailulah. Ia terkenal dengan ibadahnya yang istiqamah dan banyak, karena selalu dzikrul maut, dan mengingat kubur. Ia berkata “ya an-nafs, an-naum amamaka, lau qad muttu, la thalat raqdatuki fil qabri ‘ala husrah au surur”.[5]
Syabakah al-Bashriyah
Ia dikenal kewara’annya, di rumahnya terdapat saradib (ruang bawah tanah menyerupai pekuburan) untuk murid-muridnya. Ia mengajarkan murid-muridnya mujahadah dan mu’amalah (qalbu) didalam saradib. Nafsu dibantu oleh riyadhat, apabila telah bersih maka nafsu akan rileks kepada ibadah, sebagaimana sebelumnya ia berat dan terpaksa dalam ibadah.
Ajaran tasawufnya bahwa nafsu akan tunduk dan bersih dengan riyadah sehingga nafsu akan nyaman dalam beribadah kepada Allah, sebagaimana sebaliknya nafsu yang kotor dan tidak dilatih akan menolak dan berat dalam beribadah.[6]
(Rizal Fauzi, M.Ag, Dosen dan Mudir Ma\’had Aly Idrisiyah)
[1] Abu ‘Abdurrahman as-Sulami, Dzikru an-Niswah al-Muta’abbidat as-Shufiyat, hlm. 27-31.
[2] Ibid, hlm. 32.
[3] Ibid, hlm. 33.
[4] Ibid, hlm. 34.
[5] Ibid, hlm. 35.
[6] bid, hlm 36.